Alor adalah salah satu kabupaten yang terletak di timur Indonesia tepatnya Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Banyak suku bangsa yang hidup di Alor. Salah satu di antaranya adalah Suku Abui yang tinggal di Kampung Adat Tradisional Takpala, Alor.
Kampung Adat Tradisional Takpala terletak di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kampung Adat Takpala ini tergolong unik dan berbeda dari kampung adat lainnya di Alor. Jika kampung adat lain berada di dataran dalam dan dataran lembah, maka Kampung Adat Takpala berada di ketinggian.
Jarak dari jalanan umum menuju ke Kampung Adat Takpala sekitar 800 meter dengan kontur jalanan menanjak. Namun kehidupan mereka sama seperti suku lainnya yakni bertani atau berkebun. Menurut keterangan Martinus, pemilik lahan Takpala, saat ini jumlah penduduk Suku Abui di Kampung Takpala sebagian sudah tidak tinggal di Takpala.
Mereka hidup di daratan atau pesisir dengan bertani dan berkebun. Awalnya penduduk Kampung Adat Takpala berjumlah 40an orang atau 14 kepala keluarga (KK). Mereka semua tergolong masih satu keluarga.
Satu kepala keluarga menempati satu rumah di Kampung Adat Takpala. KK yang kini menetap di Kampung Adat Takpala semuanya masih satu keluarga. Karena sebagian KK turun dan tinggal di pesisir, maka 7 dari 14 rumah adat di Takpala dibiarkan kosong.
Martinus mengatakan warga Suku Abui yang tidak tinggal di Kampung Adat Takpala karena mereka memiliki lahan di pesisir bawah. Sehingga rumah mereka di Kampung Adat Takpala ditinggalkan untuk sementara. "Mereka disini rumahnya berdempetan jadi tidak bisa tanam sayur, jagung, dan lain lain. Sehingga mereka memilih untuk tinggal di bawah (pesisir)," katanya.
Namun jika ada acara atau ada tamu yang berkunjung ke Kampung Adat Takpala, mereka yang tinggal di pesisir bawah akan datang ke Kampung Adat Takpala. Meski tinggal terpisah, Suku Abui tetap saling menjaga persatuan dan kebersamaan satu sama lain. Misalnya saat ada perayaan ataupun tamu yang berkunjung ke Kampung Adat Takpala, maka penduduk yang tinggal di daratan akan berkumpul bersama sama penduduk Suku Abui lainnya di Kampung Adat Takpala.
Mereka kemudian akan menampilkan atraksi tarian Lego lego dan tarian Cakalele sebagai ungkapan kebahagiaan karena kedatangan tamu di kampungnya. Lewat Tarian Lego lego ini juga Suku Abui akan mengajak serta pengunjung untuk menari bersama. Dikutip dari Kemdikbud.co.id, tari Lego lego tergolong tarian adat yang merupakan salah satu kekayaan budaya yang disampaikan secara turun temurun dari nenek moyang.
Tari Lego lego biasa digunakan dalam segala kegiatan upacara adat di Alor. Namun, sekarang lebih banyak digunakan saat menyambut tamu, dalam acara pernikahan, dan sebagainya. Tari Lego lego merupakan salah satu tarian tradisional yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Alor dan masih dilestarikan hingga sekarang.
Tarian ini merupakan tarian yang sering diadakan saat upacara adat atau setelah melakukan kegiatan bersama sebagai ucapan syukur, rasa persatuan dan kegembiraan mereka. Ungkapan rasa syukur tersebut mereka lakukan dengan mengelilingi Mesbah (tempat suci yang disakralkan) sambil bergandengan dan menyanyikan lagu lagu pujian terhadap Tuhan. "Pribadi orang Alor Takpala, tidak pernah kebersamaan itu kami tinggalkan, kebersamaan selalu ada," ujar Martinus.
Sambil menari Lego lego, penduduk Kampung Adat Takpala akan mengajak para tamu ikut menari bersama di atas mesbah. Warga Suku Abui memiliki 14 rumah adat dan 2 rumah besar yang disebut fala foka dan dianggap sakral, yakni yang disebut sebagai Kolwad dan Kanuarwat. Dua rumah ini mewakili rumah sakral untuk warga muslim dan satu lagi untuk yang beragama Kristen.
Rumah yang bertanda hitam pada bagian atasnya adalah rumah untuk warga muslim. Sementara rumah yang bertanda putih untuk warga Kristen. "Jadi ketika ada acara ritual itu teman teman muslim kami undang untuk bisa mengadakan penyembelihan hewan masing masing di mesbah ini," kata Martinus.
Setelah penyembelihan hewan selesai, maka masing masing akan mengurus sendiri sendiri untuk makan. "Jadi yang teman muslim silakan sudah sembelih selesai, masak dimana di dalam rumah silakan. Yang Kristen pun demikian jadi tidak saling mengganggu," ujarnya. Sedangkan rumah yang ditinggali warga Suku Abui terdiri dari 4 tingkat.
Tingkat pertama digunakan untuk rapat, tingkat kedua untuk tidur. Tingkat ketiga di rumah tersebut digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti jagung, padi atau ubi. Pada tingkat terakhir digunakan mereka untuk menyimpan barang barang berharga seperti uang, moko dan sebagainya.
Paling bawah Suku Abui memanfaatkannya untuk memeliharan hewan peliharaan seperti ayam, babi dan sebagainya. Saat ada tamu yang berkunjung, penduduk Suku Abui sudah berkumpul di Kampung Adat Takpala, termasuk mereka yang tinggal di pesisir. Tamu akan dijemput oleh beberapa warga Suku Abui untuk dibawa sampai ke arah mesbah.
Pengunjung kemudian istirahat sebentar sekitar 5 hingga 10 menit. Sementara para penari sudah siap di mesbah. Atraksi pertama yang ditampilkan Suku Abui adalah belanja moko.
Belanja moko bermakna bahwa yang diharap harapkan telah tiba. "Jadi itu simbolnya yang digunakan, belanja moko," kata Martinus. Setelah itu warga yang dituakan akan menyampaikan semacam penyambutan kepada pengunjung "Selama ini kami nantikan dan sekarang sudah tiba, kami mau bawa ke mesbah untuk Lego lego sama sama di mesbah."
Penduduk Suku Abui kemudian menari Lego lego dan mengajak para pengunjung untuk ikut menari bersama sebagai ungkapan kebersamaan. Sementara itu Richard, pemandu wisata dari Malatours mengatakan, zaman dahulu orang orang Suku Abui selalu berada paling depan saat perang. Sehingga tidak heran mereka dijuluki sebagai pencari kepala manusia.
Namun sekarang zaman sudah berubah. Segala sesuatu tidak seperti dulu lagi. Yang tertinggal kepada mereka adalah hal berburu, bukan lagi manusia tetapi hewan. Dulu warga Suku Abui meminta berkat kepada dewa mereka, masih ada yang minta petunjuk kepada nenek moyang.
Tapi sekarang mereka semua sudah memiliki agama. Warga Suku Abui memilih Katolik sebagai agama mereka. Saat ke kebun meraka melakukan ritual menanam, tapi setelah mau panen mereka melakukan ritual kepada dewa baru kemudian ke gereja.